Nasihat Seorang Penjual Buku: Jadilah Pemberani!

Sumber: https://www.mdsci.org/event/flight-of-the-butterflies/

Hari Rabu yang lalu saya keluar untuk membeli buku Sejarah Peradaban Islam, karena saya ingin mengetahui lebih jauh lagi bagaimana sejarah agama rahmatanlil’alamin ini bisa sampai ke seluruh penjuru dunia. Namun, di tulisan ini saya tidak akan membahas isi dari buku tersebut. Ada hal lain yang ingin saya ceritakan di sini. 1 hal itu yang membuat saya resah dan gelisah belakangan ini. Ya, hal tersebut terjadi saat saya sedang membeli buku tersebut.

Saat saya sedang bertanya-tanya kepada penjaga toko tentang buku yang ingin saya beli, kemudian datanglah seorang bapak-bapak. Oh ternyata bapak itu merupakan seorang pemilik toko buku ini! Sebelumnya dia bertanya kepada saya dari kejauhan,

“Dek, mahasiswa?”
”Iya, pak,” jawab saya.
“Kuliah dimana?” Bapak tersebut kemudian bertanya lagi.
“Di Bandung, Pak. Tapi saya bukan mahasiswa jurusan agama islam, hehe,” jelas saya. Saya mengatakan seperti itu, karena saya sebelumnya dikira mahasiswa jurusan agama islam. Mungkin karena saya membeli buku sejarah islam ini.

Kemudian pemilik toko buku tersebut mendekati saya dan dia kembali mengajak saya berbicara.
“Dek, mau tau ga kunci kesuksesan?” Otomatis saya menjawab “iya”.
Siapa yang tidak mau? Walau memang ada banyak kunci kesuksesan dan dengan mudah kita bisa mencari tahu sendiri, saya tidak mengelak. Dengan banyak mendengar isi kepala orang lain, kita akan mendapat banyak insight baru. Ya, ilmu bisa datang kapan saja, dimana saja, dan melalui siapa saja.
“Ingat ya dek, kunci kesuksesan itu ada 5. Pertama, berani! Terus yang kedua, jangan malu. Ketiga, jangan takut. Keempat, jangan mudah menyerah. Dan yang kelima, jangan berputus asa,” saya mengangguk kecil.
Kemudian pemilik toko buku tersebut melanjutkan, “Tapi ingat, yang paling penting adalah berani,” saya tersenyum mendengar hal tersebut. Apa mungkin bapak ini merasakan bahwa saya merupakan orang yang sedikit pemalu? Mungkin dari cara berbicara saya ataukah gaya berjalan saya? haha…

“Ikutilah banyak organisasi. Organisasi manapun. Nanti di sana juga kita bisa dapat jodoh, dek,” saya tertawa saat bapak itu membawa-bawa perihal jodoh, karena tujuan saya berorganisasi pun bukan itu,”karena nanti kita akan banyak ketemu orang, termasuk laki-laki yang mungkin visinya sama.”


“Hahaha… iya pak,” respon saya.


Kemudian bapak itu melanjutkan, “Ingat ya dek. Apa tadi? Berani! Kalau mau sukses modalnya harus berani.”

“Gini dek. Saya ajah cuma lulusan SMA. Istri saya lulusan S2, tapi lihat dek saya berani menikahi istri saya! Padahal orang-orang di kampungnya waktu itu ga ada yang berani datengin dia. Itu dek, nekat saya! Berani dan hasilnya saya sekarang jadi suaminya,” saya tersenyum mendengar cerita bapak itu.

Kemudian pemilik toko itu memberikan ‘contoh ekstrem’, yaitu keberanian dalam melakukan kesalahan. Saya tidak mengiyakan ‘contoh ekstrem’ yang bapak itu katakan, karena memang perilaku dalam contoh tersebut salah. Namun saya tahu, contoh yang bapak itu bawakan hanyalah sebuah contoh dari perspektif yang berbeda, namun masih berkorelasi dengan topik yang kami bicarakan, yaitu tentang keberanian. Iya, bapak itu seakan ingin memberitahu saya bahwa kejahatan pun butuh keberanian. Bagaimana dengan kesuksesan jika kejahatan saja butuh keberanian? Bapak itu seakan-akan memberitahu saya bahwa ‘kesuksesan itu lebih butuh keberanian. Justru itulah modal utamanya!’

“Dek, sekali lagi apa kuncinya?” Bapak tersebut kembali bertanya.

“Berani, pak,” jawab saya

“Nah iya itu. Berani dek.. ikuti organisasi se-Indonesia ya dek..”

“Iya, pak. Saya juga ikut organisasi, kok,” jawab saya, “soalnya bakal banyak relasi juga.”

“Nah, tuh kamu tahu. Saya senang kalau kamu sudah ikut organisasi,” jawab bapak tersebut. Saya kembali menjawab “iya” dalam obrolan tersebut. Entah sudah berapa kali saya menjawab dengan jawaban 3 huruf itu. Saya merasa tidak ada pilihan lain selain menjawab “iya” karena apa yang bapak tersebut katakan memang benar dan saya menghormati apapun yang bapak itu katakan.

“Dek, kuliahlah ke luar negeri! Ke Amerika! Kamu akan banyak bertemu dengan orang-orang sukses. Berani, dek.. biar dunia tidak hanya dikuasai oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah,” bapak tersebut kembali melanjutkan. Saya tersenyum mendengarnya, seakan bapak tersebut mengingatkan saya kepada sejarah gemilangnya peradaban islam, ‘Islamic Golden Age’. “Jadi apa kuncinya, dek?” Pemilik toko buku itu kembali bertanya kesekian kalinya mengenai kunci kesuksesan. Ya, bapak itu ingin menegaskan bahwa keberanian bukanlah hal kecil, ia berdampak besar bagi kehidupan.

“Berani, pak,” jawab saya singkat.

“Ya, dek. Ingat ya dek,”

“Iya, pak. Terima kasih, pak atas nasihatnya,” ucap saya terakhir kalinya.

“Bukan dek, ini hanya saran saja,” saya hanya tertawa kecil mendengar itu. Dalam hati saya, saya rasa itu sebuah nasihat, karena apa yang bapak tersebut sampaikan merupakan ajaran yang baik dan berhasil merasuk ke dalam hati saya.

Saya merasa apa-apa yang bapak tersebut katakan menampar diri saya, sampai-sampai sesaat setelah saya tiba di rumah setelah membeli buku tersebut saya merasa ‘badmood’ sampai keesokan harinya. Entah apa karena semua perkataannya benar-benar terasa tamparannya atau karena memang saya juga merasa syok karena tiba-tiba ada seseorang yang tidak saya kenal memberikan saya nasihat yang begitu menohok? Sampai keesokan harinya pun saya masih bingung dengan apa yang terjadi. Saya bahkan bertanya-tanya sendiri dengan sebuah pertanyaan konyol, “apa maksudnya keberanian itu?”

Hingga akhirnya saya paham. Melihat diri saya selama ini memang tidak berani untuk menunjukkan potensi yang saya miliki. Saya selalu merasa rendah, merasa takut, termasuk merasa takut salah, merasa takut tidak amanah saat berorganisasi, dan merasa takut dengan ketakutan-ketakutan yang lain… saya belum sepenuhnya berani untuk menjadi orang-orang yang mempunyai ‘peran utama’ dalam sebuah organisasi atau apapun yang lebih besar dari itu. Saya akui bahwa saya belum bisa melangkah keluar dengan percaya diri. Singkatnya, saya belum berani keluar dari tempurung saya.

Sebenarnya saya selalu berpikir, bagaimana bisa seseorang menjadi hebat dan menginspirasi banyak orang? Mengapa mereka bisa melakukan itu? Mengapa dan terus mengapa… kini, akhirnya saya menemukan jawabannya. Ya, sesuatu yang sering saya dengar, namun ternyata sejauh ini saya belum sepenuhnya paham akan maknanya. Ia adalah keberanian.

Saya juga sering melihat orang-orang yang sebenarnya memiliki banyak potensi dan memiliki kinerja yang baik, namun ia tidak bersuara. Mereka ternyata kalah dengan orang-orang yang berani. Berani untuk keluar, berani bersosialisasi dengan banyak orang, berani menyuarakan gagasan mereka, berani mengambil amanah, dan bentuk keberanian baik lainnya. Iya, mereka yang berani justru akan lebih berpotensi untuk banyak memberikan manfaat bagi orang lain, karena mereka bisa menduduki ‘peran utama’ dalam suatu organisasi, kepanitiaan, bahkan dalam pemerintahan. Salah satunya adalah karena mereka berani untuk memikul sebuah jabatan. Dan jabatan yang paling tinggi adalah ketua. Bukankah lebih mudah untuk menebar kebaikan jikalau kita punya kedudukan itu?

Saya yakin semua orang memiliki cita-cita untuk bermanfaat bagi orang lain. Begitupun saya. Tulisan di blog ini dan project gambar di instagram yang saya buat adalah sarana bagi saya untuk berbagi kebaikan dengan potensi yang saya miliki. Namun, ternyata lagi dan lagi… tetap dibutuhkan keberanian! Tidak akan ada orang yang membaca tulisan kita, tidak akan ada orang yang terinspirasi oleh tulisan kita atau gambar-gambar kita atau project-project lain yang kita buat kalau kita sendiri tidak berani menyuarakan itu. Bagaimana orang-orang di sekitar kita bisa tahu? Bagaimana dunia ini bisa melihat dan merasakan sumbangsih kita?

Begitupun perihal kuliah untuk S2 nanti. Saya kadang merasa minder karena belum memiliki kemampuan bahasa inggris dan kemampuan adaptasi yang baik. Sehingga sejak semester 5 saya sudah memutuskan untuk berencana melanjutkan S2 di kampus yang sama saja dengan kampus dimana saya akan meraih gelar sarjana saya. Lagi dan lagi… begitu besar kah ketakutan saya hingga berani melenyapkan impian untuk S2 di luar negeri? Sepertinya saya memang orang yang selalu khawatir dan penuh pertimbangan. Selalu takut ini dan itu. Walaupun hal tersebut memang wajar dan terkadang diperlukan, namun bagaimana jika sampai melenyapkan keberanian dalam melangkah ke depan?

Saya baru benar-benar tersadar sekarang. Tempurung saya ini kecil, sedangkan manusia selalu butuh tempat yang lebih luas untuk mengeksplor segala keingintahuannya. Dan tempurung ini benar-benar menutupi saya dari menebar manfaat untuk jutaan bahkan milyaran manusia. Benar kata bapak tersebut, beranilah! Berani untuk keluar dari tempurung kita. Itulah langkah awal untuk memulai kebermanfaatan yang lebih besar.

Entah… berawal dari badmood, bingung, dan gelisah, akhirnya saya jadi berpikir juga. Nasihat itu kini bisa merubah cara pandang saya. Saya merasa mendapat energi baru. Tidak ada yang tidak mungkin, bukan? Coba saja untuk berani dulu! Sungguh tidak ada yang salah dan tidak ada yang sia-sia dalam keberanian yang disertai dengan niat yang lurus. Bukankah Allah selalu mendengar keinginan yang terbesit dalam hati kecil kita? Biarlah keberanian itu menjadi nilai ‘plus’ di hadapan Allah kalau memang pada akhirnya kita belum diizinkan untuk meraih keinginan kita. Tetapi kini saya bisa memastikan bahwa keberanian tetap ada dalam jiwa saya, karena sebagai gantinya Allah akan memberikan berjuta kesempatan yang tidak terduga.

Jadi, kini bertambah pemahaman saya akan hakikat keberanian…

Bahwa semua orang pasti memiliki rasa takut. Namun mereka, orang-orang yang sudah terlebih dahulu sukses dan berhasil menebar manfaat tetap berjalan maju. Mereka dapat menghadapi ketakutan itu, menutupinya dengan cahaya keberanian.

Maka,

Jangan hiraukan rasa takut itu! Tutuplah ia dengan keberanian agar kita mampu untuk mengambil amanah di luar, terlebih apabila kita memiliki potensi yang baik dan niat yang lurus.

Lawan saja rasa takut itu! Ubahlah dengan keberanian agar kita mampu menyebarluaskan karya-karya kita.

Kalahkan saja rasa takut itu! Hidupkan jiwa dengan cahaya keberanian untuk mengambil banyak kesempatan yang Allah berikan kepada kita dimanapun dan kapanpun. Banyak orang yang sukses menggapai cita mereka karena mereka berani mengambil dan mampu memanfaatkan kesempatan yang Allah berikan.

Apabila kita terus menerus kalah dengan rasa takut dan tidak berani mengambil langkah untuk maju, lantas sampai kapan akan seperti ini? Jika tidak berani untuk mencoba, kita tidak akan berkembang. Bukankah manusia juga ditentukan oleh langkahnya? Maka beranilah! Cobalah saja dulu!

Iya, karena semuanya pun merupakan proses pembelajaran. Kalau ternyata ada kesalahan dalam prosesnya, kita lagi-lagi belajar. Belajar berani menghadapi masalah, belajar berani bertanggung jawab, dan belajar pelajaran hidup lainnya. Bukankah hidup memang hakikatnya untuk belajar menjadi lebih baik? Jadi, tidak ada kesia-siaan dalam keberanian untuk kemaslahatan hidup orang banyak. Bukankah itu mimpimu? Mimpi kita? Maka cobalah untuk berani! Lawan segala ketakutanmu dan biarkanlah kabar gembira itu datang.

Tulisan saya kali ini saya tutup dengan sebuah quotes yang sangat bagus dari salah satu pahlawan besar Indonesia.

“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun.”

-Soekarno

Semangat untuk diriku dan dirimu! Dimanapun kita berada, semoga tulisan ini bisa memotivasi diri kita, khususnya saya yang memang selalu takut untuk memulai. Semoga kita bisa bermetamorfosis seperti ulat yang menjadi kupu-kupu dan berani terbang menjelajahi setiap penjuru negeri. Ya, semoga Allah selalu memberikan kita kemudahan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan bisa bermanfaat untuk banyak orang. Aamiin… 🐛 🔜 🦋

Salam hangat,
Kia 🌷
22 Ramadhan 1441 H

2 respons untuk ‘Nasihat Seorang Penjual Buku: Jadilah Pemberani!

Tinggalkan komentar